Oleh : DR Weldy Jevis Saleh,SH.,MH
Praktisi dan Akademisi Hukum serta Dewan Pengawas DPC AWIBB Bekasi Raya
- SEJARAH HUKUM PROGRESIF
Sebagaimana diuraikan oleh Philipe Nonet dan Philipp Selznich, bahwa di Amerika pada tahun 70-an timbul persoalan-persoalan sosial, kejahatan, kemerosotan lingkungan, protes massa, hak-hak sipil, kemiskinan, kerusuhan di kota-kota serta abuse of power pada tahun 1960-an, masyarakat merasakan betapa hukum gagal untuk menangani berbagai problema sosial tersebut. Kondisi hukum di Amerika tersebut memunculkan suatu kritik pada pakar hukum di Amerika melalui “Critical Legal Studies Movement”. Kemudian dengan tulisan dari Philippe Nonet dan Philip Selznich yang bertitik tolah dari teori sosial tentang hukum membedakan 3 (tiga) tipe hukum, yaitu hukum represif, hukum otonom dan hukum responsif. Sebagaimana evolusi yang terus berkembang dari sisi keilmuan, maka pemikiran untuk mengukuhkan keberadaan ilmu hukum untuk menjadi sebenar ilmu juga terus berkembang. Hukum bukanlah sesuatu yang final (finite scheme) akan tetapi terus bergerak dan dinamis mengikuti perubahan jaman. Sehingga, hukum harus terus ditelaah dengan melakukan review melalui upaya-upaya yang progresif sehingga kebenaran yang hakiki dapat dicapai dan menghadirkan kemerdekaan manusia dalam menggapai keharmonisan, kedamaian, ketertiban yang pada akhirnya mewujudkan kesejahteraan yang adil dan beradab sesuai dengan semangat nilai-nilai Pancasila. Di Indonesia, muncul yang dinamakan hukum Progresif yang muncul pada sekitar tahun 2002 dengan penggagasnya Satjipto Rahardjo. Hukum progresif lahir karena selama ini ajaran ilmu hukum positif (analytical jurisprudence) yang dipraktikkan pada realitas empirik di Indonesia tidak memuaskan. Gagasan Hukum Progresif muncul karena prihatin terhadap kualitas penegakan hukum di Indonesia terutama sejak terjadinya reformasi pada pertengah tahun 1997. Jika fungsi hukum dimaksudkan untuk turut serta memecahkan persoalan kemasyarakatan secara ideal, maka yang dialami dan terjadi Indonesia sekarang ini adalah sangat bertolak belakang dengan cita-cita ideal tersebut Untuk mencari solusi dari kegagalan penerapan analytical jurisprudence, Hukum Progresif memiliki asumsi dasar hubungan antara hukum dengan manusia. Progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, memiliki sifat-sifat kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama. Dengan demikian, asumsi dasar Hukum Progresif dimulai dari hakikat dasar hukum adalah untuk manusia. Hukum tidak hadir untuk dirinya-sendiri sebagaimana yang digagas oleh ilmu hukum positif-tetapi untuk manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Posisi yang demikian mengantarkan satu predisposisi bahwa hukum itu selalu berada pada status “law in the making” (hukum yang selalu berproses untuk menjadi Gagasan yang demikian ini jelas berbeda dari aliran hukum positif yang menggunakan sarana analytical jurisprudence yang bertolak dari premis peraturan dan logika. Bagi Ilmu Hukum Positif (dogmatik), kebenaran terletak dalam tubuh peraturan. Ini yang dikritik oleh Hukum Progresif, sebab melihat hukum yang hanya berupa pasal-pasal jelas tidak bisa menggambarkan kebenaran dari hukum yang sangat kompleks. Ilmu yang tidak bisa menjelaskan kebenaran yang kompleks dari realitas-empirik jelas sangat diragukan posisinya sebagai ilmu hukum yang sebenar ilmu (genuine science). Hukum Progresif secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan Masyarakat Dalam posisi yang demikian ini, maka Hukum Progresif dapat dikaitkan dengan developmetal model hukum dari Nonet dan Selznick. Hukum Progresif juga berbagi paham dengan Legal Realism dan Freirechtslehre. Meminjam istilah Nonet dan Selznick, Hukum Progresif memiliki tipe responsive yang artinya hukum akan terus berkembang di mana ada Masyarakat di dalamnya.
- PENERAPAN HUKUM PROGRESIF IMPLEMENTASI POLITIK HUKUM
Hukum dan undang-undang itu tidak berdiri sendiri. Ia tidak sepenuhnya otonom dan punya otoritas absolut. Apabila pendekatan terhadap kehidupan hukum suatu bangsa hanya dengan meggunakan tolak ukur undang-undang, maka hasil yang diperoleh tidaklah memuaskan. Artinya, sulit untuk dapat memperoleh gambaran tentang keadaan hukum yang sebenarnya hanya dengan membaca peraturan perundangannya saja. Diperlukan potret kenyataan hukum yang hanya dapat dilihat melalui perilaku hukum sehari-hari. Hukum Progresif memecahkan kebuntuan itu. Hukum Progresif menuntut keberanian aparat hukum menafsirkan pasal untuk memperadabkan bangsa. Apabila proses tersebut benar, idealitas yang dibangun dalam penegakan hukum di Indonesia sejajar dengan upaya bangsa mencapai tujuan Nasional. Idealitas itu akan menjauhkan dari praktek ketimpangan hukum yang tak terkendali seperti sekarang ini, Sehingga Indonesia di masa depan tidak ada lagi diskriminasi hukum, karena hukum tak hanya melayani kaum kaya. Apabila kesetaraan didepan hukum tak bisa diwujudkan, keberpihakan itu mutlak, Manusia menciptakan hukum bukan hanya untuk kepastian, tetapi juga untuk kebahagiaan. Metode penelitian yang digunakan adalah gabungan dari metode pendekatan yang bersifat normatif dan metode bersifat empiris. Dengan menggabungkan kedua metode ini yaitu melihat kenyataan di lapangan dengan menerangkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, Hukum Progresif bukan menjadi sesuatu yang harus menempati menara gading yang mensterilkan diri terhadap elemen lain, Hukum Progresif harus turun dan membaur dengan unsur-unsur lain yang berkaitan, seperti sosiologi dan antropologi, sehingga memunculkan sosok yang mampu mengobati penyakit hukum yang komplikasi dan kronis sekalipun, Hukum Progresif memecahkan kebuntuan itu sendiri Hukum Progresif menuntut keberanian aparat hukum menafsirkan pasal untuk memperadabkan bangsa, Apabila proses tersebut benar idealitas yang dibangun dalam penegakan hukum di Indonesia sejajar dengan upaya bangsa mencapai tujuan Nasional Idealitas itu akan menjauhkan dari praktek ketimpangan hukum yang tak terkendali seperti sekarang ini Sehingga Indonesia di masa depan tidak ada lagi diskriminasi hukum, karena hukum tak hanya melayani kaum kaya Apabila kesetaraan di depan hukum tak bisa diwujudkan, keberpihakan itu mutlak Manusia menciptakan hukum bukan hanya untuk kepastian, tetapi juga untuk kebahagiaan dan kesejahteraan anak bangsa sebagai implentasu undang-undang dasar 1945.
- DALAM PENERAPAN/IMPLEMENTASI POLITIK HUKUM
Sistem Hukum Indonesia yang berlatar hukum Kontinental yang sangar sarat dengan jiwa positivistic maka “kepastian hukum” menjadi hal yang utama Hal tersebut ternyata dengan dianutnya asas legalitas dalam sistem hukum di Indonesia Meskipun menganut asas legalitas tetapi jiwa dan semangat sistem hukum Indonesia sebagaimana diuraikan dalamm tulisan ini menunjukkan bahwa sistem hukum juga menyediakan sarana atau sistem untuk menciptakan keadilan, disamping kepastian hukum. Meskipun tidak secara terus terang menyuarakan atas nama Hukum Progresif tetapi beberapa putusan pengadilan yang dapat dikatakan mewakili jiwa dan semangat Hukum Progresif, yang diantaranya:
- Sebagaimana dikemukakan oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010, yang dikeluarkan pada bulan Januari 2012, dalam kasus uji materiil yang diajukan oleh Machica Moechtar yang telah mengubah Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Putusan yang sangat berani, yang bertujuan untuk melindungi hak-hak seorang anak dan martabat seorang perempuan.
- Sebagaimana yang di putuskan mahkamah kosntitusi,Putusan nomor:90/PUU-XXI/tahun 2023 di mana gugatan permohonan tersebut merupakan permohonan batas usia/umur pencalonan presiden dan wakil presiden di mana ada yang kebetulan anak seorang presiden yang lagi menjabat tentunya sangat menjadi pro dan kontra dalam sistem hukum indoensia terkait implementasi politik hukum di Indonesia, padahal dalam prakteknya bukan yang bersangkutan mengajukan permohonan gugatan merupakan oranglain yang Bernama:ALMAS TSAQIBBIRRU di mana ada bebrapa hakim kostitusi melakukan putusan dengan menganut hukum progresif akan tetapi menjadi polemik di Masyarakat, apakah di karena ada anak presiden yang akan mencalonkan sebagai wakil presiden, mungkin jika bukan anak presiden yang mencalonkan putusan mahkamah kostitusi tidak akan menjadi perdebatan banyak ahli hukum di indonesia,banyak ahli hukum justru karena ketidak sukaan terhadap pemerintah justru mengabaikan hukum progresi di Indonesia,sampai membuat filim dekomentery dirty vote,para ahli hukum itu justru mengabaikan hukum progresif itu sendiri,WELDY JEVIS SALEH sebagai penganut hukum progrsif dan banyak belajar tentang ilmu hukum terkait perkembangan hukum di dalam Masyarakat itu sendiri,Satjipto Rahardjo tidak menjelaskan bagaimana Hukum Progresif dapat diterapkan dalam sistem hukum di Indonesia Hukum Progresif yang adalah merupakan bagian dari sistem atau sub sistem hukum nasional maka yang merupakan cita berhukum maka untuk keberhasilan dalam penerapannya tidak dapat melepaskan diri dari sistem hukum secara keseluruhan. Sistem Hukum Nasional yang berjiwa Pancasila dan berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 harus dilakukan secara sistemik dan serentak membangun empat aspek atau dimensi, yaitu: a. Pembangunan Budaya Hukum; b. Pembangunan Materi Hukum; c. Pembangunan Aparatur Hukum; dan d. Pembangunan Sarana dan Prasarana Hukum. Budaya hukum suatu bangsa ditentukan oleh nilai-nilai tertentu yang menjadi acuan dalam mempraktikan hukumnya. Problema yang dihadapi oleh bangsa-bangsa di luar Eropa adalah bahwa nilai-nilai yang ada dalam hukum yang mereka pakai yaitu hukum modern, tidak persis sama dengan yang ada dalam masyarakat. Perilaku substantif mereka diresapi dan dituntun oleh sistem nilai yang berbeda. 27 Dalam Budaya Hukum di dalam nya menyangkut perilaku berhukum dari para pengemban profesi hukum, dan juga perilaku berhukum dari masyarakat yang bukan pengemban profesi hukum. Pembangunan Materi Hukum adalah mengenai substansi hukum, undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya. Pembangunan Aparatur Hukum adalah berkaitan dengan sumber dayanya, baik mengenai pembangunan kemampuan intelektualnya maupun mentalnya. Sedangkan pembangunan mengenai Sarana dan Prasarana Hukum adalah berkaitan dengan penyediakan alat atau peralatan hukum, seperti perpustakaan hukum yang dapat diakses oleh masyarakat. Berangkat dari pandangan dalam membangun Sistem Hukum Nasional yang digambarkan oleh Sunaryati Hartono tersebut, maka supaya Hukum Progresif dapat mencapai tujuannya secara maksimal dalam menciptakan keadilan dan kebahagiaan bagi masyarakat diperlukan kondisi yang akan mengantarkan atau memudahkan Hukum Progresif mencapai tujuan tersebut, yaitu: a. Tersedianya hukum substantive yang mengandung asas keadilan dan pro kepada rakyat; b. Sistem Peradilan yang mendukung rakyat pencari keadilan untuk memperoleh keadilan hakiki di ruang pengadilan; c. Para penegak hukum (penyidik, jaksa, hakim dan advokat) yang memiliki “kemumpunian” nalar dan hati nurani, intelektual dan moral. Termasuk di sini pemahaman hukum dan moral dari para pencari keadilan; d. Fasilitas atau “dapur” yang memadai dan kompeten untuk menciptakan para penegak hukum yang memiliki kemampuan intelektual dan sekaligus moral untuk memberikan keadilan yang hakiki kepada pencari keadilan. Hukum Progresif bukan menjadi sesuatu yang harus menempati menara gading yang mensterilkan diri terhadap elemen lain. Hukum Progresif harus turun dan membaur dengan unsur-unsur lain yang berkaitan, seperti sosiologi dan antropologi, sehingga memunculkan sosok yang mampu mengobati penyakit hukum yang komplikasi dan kronis sekalipun
- TUJUAN KESIMPULAN HUKUM PROGRESIF
Hukum progresif lahir agar hukum tidak kaku dan memakai kacamata kuda dalam mengambil tindakan mengambil Keputusan serta dalam pelaksanaan secara menyeluruh agar tidak merugikan Masyarakat karena hukum progresif lahir agar pemimpin dalam mengambil Keputusan dapat perpihak untuk kesejahteraan Masyarakat Indonesia sesuai amanat undang-undang dasar 1945 Meskipun Hukum progresif kurang begitu di kenal di dalam kehidupan bermasrakat bahkan terhadap mahasiswa fakultas hukum yang ada di Indonesia, mahasiswa fakultas hukum sekarang lebih bertujuan mendapatkan gelar sarjana hukum terkait untuk mendapatkan pekerjaan sebagai stadarrisasi untuk mendapat pekerjaan itu sendiri.
Rs
Sumber :
1.JURNAL HUKUM
2.ARTIKEL HUKUM
3.TABLOID/MAJALAH HUKUM
4.BUKU Prof SARCIPTO RAHARJO
5.WJS DEWAN PENGAWAS AWIBB Bekasi Raya