Perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2024 menjadi momentum untuk memilih pemilih pemimpin daerah terbaik yang beritegritas dan berkomitmen mensejahterakan rakyat.
Akan tetapi dibalik itu ada ancaman yang menjadikan harapan tersebut sirna, yaitu money politics atau politik uang. Dengan cara tersebut, masa depan suatu daerah ‘digadaikan’ sehingga pemimpin tidak dipilih berdasarkan kompetensinya namun berdasarkan ‘isi tas’nya.
Politik uang dapat merusak demokrasi. Ironisnya, politik uang sudah dianggap biasa terjadi di Indonesia. Karena itu, masyarakat harus memiliki kesadaran untuk melawan politik uang.
Sebagian masyarakat menilai praktek politik uang dalam kontestasi politik merupakan hal wajar. Padahal, praktek semacam itu mencederai demokrasi dan integritas pemilihan. Oleh karenanya kesadaran masyarakat untuk menolak praktik itu dibutuhkan.
Bahkan politik uang banyak diperbincangkan sebagai suatu ancaman yang sangat nyata terhadap demokrasi bukan hanya di Indonesia namun juga di dunia Internasional. Banyak forum-forum telah mendiskusikan isu politik uang merupakan suatu tindak kejahatan politik penyuapan yang harus dengan serius dicegah dan diperangi.
Apa itu Politik Uang atau (Money Politik)? Politik uang itu sebuah upaya penyuapan dalam politik demokrasi, baik itu terhadap penyelenggara, pengawas dan pemilih untuk mempengaruhi proses dan hasil pemilihan.
Contohnya:
Pemberian uang tunai terhadap warga pemilih menjelang pemungutan suara atau disebut ‘serangan fajar’ atau pemberian uang ganti dan/atau uang transport, diberikan sebagai pengganti waktu kerja pemilih. Misalnya, seorang petani yang harusnya pergi ke sawah atau ladang, diberikan uang agar pergi ke TPS untuk memilih calon tertentu’
Negara melaui kebijakan politik hukumnya telah mengatur terkait kejahatan politik uang. Dengan adanya kebijakan hukum ini semakin jelas bahwa politik uang adalah sesuatu yang serius sehingga dianggap perlu untuk diatur dalam peraturan perundang – undangan, sebagai upaya perlindungan terhadap masyarakat dan tentunya perlindungan terhadap demokrasi.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang pemilihan umum Pasal 523 ayat(1), ayat (2), dan ayat (3) mengatur tentang larangan poltik uang yang terbagi dalam tiga masa atau tahapan yaitu:
Pertama pada masa Kampanye dimana larangan tersebut berbunyi; Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)
Kedua Pada Masa Tenang dimana desebutkan ; Setiap pelaksana, peserta, dan/ atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada Masa Tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada Pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp. 48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah).
Ketiga Pada Saat Pemungutan Suara yang secara tegas disebutkan ; Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Sedangkan aturan hukum larangan politik uang dalam Pemilihan sebagaimana ketentuan Pasal 187A Undang -Undang Nomor 10 Tahun 2016 yaitu;
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, menjanjikan atau memberikan uang, atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia, baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dalam Undang – Undang nomor 10 Tahun 2016 justru lebih tegas lagi disebutkan bahwa baik pemberi maupun penerima mendapatkan ancaman pidana.
Berikut bunyinya:
Pasal 73 Ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 Calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan /atau Pemilih.
Pasal 73 Ayat (4) UU Nomor 10 Tahun 2016 Selain Calon atau Pasangan Calon, anggota Partai Politik, tim kampanye, dan relawan, atau pihak lain juga dilarang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan tau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk:
– Mempengaruhi Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih;
– Menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan suara tidak sah; dan
– Mempengaruhi untuk memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu.
Pasal 187A Ayat (1) dan (2) UU Nomor 10 Tahun 2016
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 milyar.
(2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1).(Red)